RUNTUHNYA KREDIBILITAS GURU
Oleh
Musakkir
(Dikdas Tidung – 2014)
Guru adalah jabatan profesional. Guru lazimnya dikenal sebagai agen pembelajaran, fasilitator bagi peserta didiknya agar dapat mencapai tujuan pembelajaran. Guru umumnya merujuk kepada pendidik profesional dengan tugas utamanya adalah mendidik, mengajar membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2005.
Merujuk kepada tugas utama tersebut, jelas tergambar bahwa guru bukan hanya fokus di ranah kognitif siswanya saja tapi mempunyai tugas lainnya diantaranya mendidik. Oleh karena itu guru sering kali disebut dengan istilah ditiru dan digugu.
Untuk menjalankan tugas “mendidik” maka dibutuhkan orang terdidik. Mendidik yang lebih seringnya dikonotasikan dengan menggembleng ranah sikap. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap pendidik atau guru yang bisa menjadi contoh sikap bagi peserta didiknya secara konsisten.
Mendidik tidak semudah dengan mengajar. Untuk menciptakan seorang terdidik, maka dibutuhkan pendidik sebagai sosok yang dapat ditiru dan sebagai “idola” bagi peserta didiknya. Ratusan tahun silam Bapak Pendidikan mengemukakan dengan kalimat Ing Ngarso Song Tolodo . Guru mestinya dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya, menjadi contoh yang baik bagaimana bertindak sebagai manusia yang baik dalam pandangan Tuhan dan memenuhi ekspektasi masyarakat.
Dalam mengasah ranah afektif peserta didik memang bukan hal mudah. Hal ini dapat dilihat dari rumusan tujuan pembelajaran dengan tingkat pencapaian masih pada tataran pengetahuan dan keterampilan. Oleh karenanya pengembangan sikap tidak terukur dan memang tidak mudah mengukurnya. Oleh karenanya pengasahan afektif siswa kerap kali terabaikan dalam pembelajaran.
Kenakalan remaja saat ini yang sering mencuat dipermukaan media diantaranya dimuat dalam Tribunnews (27/04/2013) dengan judul Mesum, Sepasang Pelajar Diarak Tanpa Pakaian mempunyai tanggapan yang berbeda dikalangan masyarakat. Ada yang menyatakan kenakalan remaja karena kesalahan pola asuh dalam satuan pendidikannya. Padahal dapat kita pastikan bahwa hal itu tak pernah diajarkan atau dicontohkan dalam pendidikan. Ironisnya lagi perilaku korupsi yang lagi marak dilakukan oleh sekelompok pejabat elit negara pun diindikasikan akibat kesalah asuhan di satuan pendidikan. Beberapa pakar pendidikan juga menyangkal dengan alasan bahwa korupsi juga tak pernah dibelajarkan di setiap satuan pendidikan. Menanggapi berbagai tudingan tersebut, maka sejatinya guru dapat berpikir lebih keras untuk menghindarkan peserta didiknya dari perilaku tidak terpuji tersebut.
Beralih ketugas mengajar yang kerap diartikan sebagai transfer of knowlodge. Yah pewarisan nilai-nilai dan materi ajar yang dimilikinya. Tugasnya menempa peserta didik hingga menguasai sekumpulan materi ajar dengan berbagai cara atau metode. Walau kini telah ada pergeseran dari penguasaan materi menuju penguasaan kompetensi yang dimulai sejak tahun 2004 tapi belum banyak yang dapat mensukseskannya.
Untuk tugas membimbing lebih kearah usaha menuntun peserta didik dalam pembelajaran. Mengarahkan peserta didiknya dalam jalur belajar yang memudahkan mencapai tujuan pembelajaran.
Dalam hal tugas melatih, lebih kearah mengasah keterampilan termasuk dalam ranah psikomotor peserta didiknya. Oleh karena itu pengetahuan yang memadai, sikap yang mulia dan keterampilan yang handal diharapkan bersinergi dan berkesinambungan dalam diri sang guru. Sinergi dari ketiganya disebut Prof. Theresia sebagai kompetensi. Oleh karena itu perlu kiranya kira menyimak kembali bagaimana kompetensi guru yang diharapkan dan menyandingkannya dengan realita.
Prof. Atwi Suparman mendefenisikan kompetensi sebagai penggunaan kemampuan atau kapabilitas yang dibentuk dari pengetahuan, sikap dan kompetensi yang diperolehnya dari pendidikan dan pengalaman. Lebih lanjut dalam UU Guru dan Dosen, kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Oleh karena itu, kompetensi guru merupakan suatu hal pokok yang perlu terpatri dalam diri untuk melaksanakan tugas utamanya seperti dikemukakan di atas.
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No 19 (Depdiknas 2005) menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.
Kompetensi pedagogik menyentuh ke dalam ranah pengetahuan guru mengenai seperangkat keilmuan yang dibutuhkan dalam mengelola pembelajaran sehingga dapat mengoptimalkan proses belajar peserta didiknya. Diantaranya guru diamanatkan untuk menerapkan berbagai pendekatan, starategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif. Akan tetapi mayoritas guru dalam melaksanakan tugasnya lebih mengandalkan ceramahnya. Guru lebih cenderung tunduk dan patuh terhadap buku yang dimilikinya, dan terkadang menjadi satu-satunya buku sumber belajarnya. Guru kemiskinan ide berimprovisasi dalam pembelajaran. Kurangnya pemahaman mengenai teori dan prinsip belajar yang mendidik menjadi salah satu sebab ketidakhandalan dalam mengelola pembelajaran.
Hasil uji kompetensi guru tahun 2013 seperti yang ditayangkan slide Implementasi Kurikulum 2013 oleh Narasumber Kurikulum 2013 dinyatakan bahwa rata-rata kemampuan (pedagogik dan profesionalisme) guru pada nilai 47,84. Kemudian hasil posttest guru inti Kurikulum 2013 yaitu 53,45. Setelah mengikuti serangkaian pembinaan, kemampuan dalam perancangan pembelajaran dan pengetahuan praktik hanya mampu naik 4,81%. Kenaikan terbesar pada konsep kurikulum dengan kenaikan 62,20%.
Berbagai langkah pemerintah lakukan guna dapat meningkatkan kompetensi ini, diantaranya peningkatan jenjang pendidikan guru ke jenjang sarjana bagi yang belum memiliki, berbagai pelatihan dan work shop, serta PLPG. Dari semua itu alhasil masih belum berbuah manis. Jika kompetensi pedagogik gurunya rendah, bagaimana dengan peserta didiknya? Hasil survei yang dilakukan PISA tahun 2012 menempatkan siswa indonesia di urutan 65 dari 65 negara yang disurvei dalam kemampuan Matematika, Sains dan Bahasa yang bersifat aplikatif. Tentu ini bukan hasil yang menggembirakan.
Beralih ke kompetensi kepribadian, hal ini yang paling menjadi sorotan masyarakat saat ini. Kepribadian yang diharapkan menghiasi setiap pribadi guru diantaranya menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
Akan tetapi berbagai perilaku sang pendidik ternyata bertentangan dengan harapan mulia tersebut. Menjadi pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan tentu membutuhkan tingkat kedisiplinan yang tinggi dalam bertutur dan bertindak senantiasa dalam koridor yang benar. Manusia tentu tak luput dari kesalahan. Sindonews.com pada 7 mei 2014 memberitakan seorang kepala sekolah SD di Riau kepergok main judi dan pada 28 Mei 2014 dikabarkan seorang guru SD digelandang petugas Mapolres Jombang dalam kasus yang sama. Belum lagi perilaku pelecehan seksual yang juga pernah dilakukan oleh segelintir oknum guru. Disaat manusia yang berprofesi guru tergelincir dari sifat mulianya, maka media pun turut mengembor-gemborkannya. Seorang guru dihakimi oleh sejuta umat, lalu terjadi generalisasi, menyematkan kepada profesi guru sebagai bentuk kekecewaan.
Salah satu tugas guru ialah melakukan evaluasi, tentu yang dimaksud evaluasi terhadap peserta didiknya. Sejatinya guru di masing-masing satuan pendidikan yang mengevaluasi peserta didiknya. Walaupun menggunakan soal bukan buah tangannya, tapi untuk mengawas peserta didiknya pun dalam Ujian Nasional (UN) tak direstui. Pengawas UN dari satuan pendidikan lain dengan teknik pengawas silang. Hal ini menandakan tidak adanya kepercayaan kepada guru untuk mengawas peserta didiknya masing-masing.
Kita tentu tidak menutup mata dan telinga. Beberapa kali media mengabarkan kecurangan yang dilakukan oleh guru maupun kepala sekolah dengan memberi jawaban atau membocorkan soal kepada peserta didiknya. Deadline Liputan6.com, Mendikbud: Ada Oknum Kepala Sekolah Terlibat Kecurangan UN, yang dikabarkan pada tanggal 17 Mei 2014 menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan. Tak terhingga berita yang terpampang di media cetak maupun elektronik mengenai kecurangan yang dilakukan oknum guru. Karena kejadian yang serupa juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya maka soal ujian pun dititipkan di kantor kepolisian tiap daerah penyelenggara UN. Sungguh langkah antisipatif yang luar biasa.
Kembali menelisik kompetensi guru yang lainnya yakni kompetensi sosial. Guru dituntut utntuk mempergunakan kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungannya, berkomunikasi efektif dan bersikap objektif. Kompetensi ini dapat disebut dengan education social. Guru diharapakan bukan hanya berperilaku terpuji di depan peserta didiknya tetapi di lingkungannya baik sekolah maupun masyarakat luas. Hal ini masih mudah kita jumpa di daerah pedesaan Indonesia namun sulit di daerah perkotaan. Beberapa diantaranya terjebak dengan pola hidup individualistik yang merupakan ciri masyarakat perkotaan. Merasa tugasnya hanya dalam lingkungan satuan kerjanya saja yang tersirat dalam benaknya. Selebihnya menjadi orang biasa bak masyarakat lainnya. Fungsi education social-nya pun terabaikan.
Kompetensi profesional meliputi penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik mencapai kompetensi yang ditetapkan. Oleh karena itu, suatu kepatutan jika guru senantiasa menambah wawasannya baik melalui media cetak maupun elektronik.
Kemauan untuk memperkaya diri dengan segenap informasi mengenai materi ajar sangat jarang tertanam lekang dalam sanubari sang pendidik. Upah yang diperoleh lebih banyak untuk memenuhi keperluan barang hari-harinya. Bahkan tak jarang dipergunakan barang mewah yang tidak berdampak terhadap peningkatan kompetensinya. Gaya hidup selebriti idola telah membasuh pikiran sebagian guru hingga rela menggelontorkan sebagian besar penghasilannya. Tambahan penghasilan yang diperoleh dari pengakuan “profesionalnya” pun tak cukup banyak mendongkrak kemampuannya dalam menguasai materi pembelajarannya. Anggapan bahwa materi ajar selalu sama dari tahun ke tahun membuat banyak kalangan guru enggan untuk senantiasa memperkaya ilmunya.
Dari paparan yang dikemukakan di atas, maka beberapa pertanyaan muncul dibenak. Apakah kita masih pantas menyandang sebagai orang yang patut digugu dan dituru? Apakah masih layak menyandang sebagai seorang profesional? Jawabannya tentu berpulang kepada kita semua sebagai guru. Jika hal-hal tak indah seperti dikemukakan diatas tak menggerogoti diri tentulah kita masih pantas menyandangnya. Tapi jika membutuhkan beberapa waktu untuk memastikannya, maka mari kita tingkatkan kapabilitas kita menuju guru yang berkompeten sehingga layak menyandang jabatan profesional.
Marilah kita senantiasa meningkatkan usaha memperbaiki diri dan menjaga kode etik profesi. Semoga upah yang kita peroleh berbanding lurus dengan karya yang kita hasilkan.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, khususnya kepada diri penulis.
Wassalam.